Sabtu, 02 Mei 2009

talang kering





INI ANALISIS SAMAN KU

SAMAN
Judul Buku : Saman
Penulis : Ayu Utami ( Angkatan 2000 )
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Cetakan : 23, 2003
Tebal Buku : ix + 198 halaman

Sinopsis Cerita!
 Cerita ini dimulai dari hubungan gelap antara Laila dan Sihar seorang laki – laki yang beristri. Perkenalan mereka di tempat yang bernama rig, tempat pengeboran minyak lepas pantai. Laila menolong Sihar seorang pekerja pengeboran minyak tersebut untuk membuktikan kesalahan Rosano, yang dengan tidak sengaja atas perintahnya telah membunuh pegawainya, sahabat Sihar, Hasyim.
 Laila kemudian meminta teman lamanya, yang merupakan cinta pertamanya, yaitu Saman. Seseorang yang bekerja di sebuah LSM. Awalnya Rosano tetap berhasil memenangkan perkaran tersebut. Hingga terjadi sesuatu pada Rosano, yang akhirnya membuat Rosano mendekam di jeruji besi.
 Selama berusaha memenagkan perkara tersebut, Laila mengingat semua masa lalunya tentang Saman. Saman seorang pastor yang berubah haluan menjadi anggota LSM, tidur dengan wanita yang bernama Yasmin, sahabat Laila dan Saman yang sudah menikah. Laila juga mengingat persahabatannya dengan Cok, Sakuntala.Cok dan Sakuntala yang telah kehilangan keperawanan mereka di usia muda. Mereka semua wanita yang berusaha memperjuangkan diri mereka, mencari jati diri mereka. Dan menjadikan seks sebagai problem mereka.
 Laila telah memberikan kesuciannya kepada Sihar. Tetapi laki – laki itu terus menjadi pengecut, bersembunyi di ketiak istri. Dan Laila terus menunggu di New York, tempat mereka berjanji untuk bertemu, setelah perkara itu.

Unsur Intrinsik!
1. Tema
Peristiwa yang paling kuat di roman yang memenagkan sayembara roman 1998 ini adalah seks sebuah problem bagi wanita. Di sini seks itu tidak dijadikan diskusi tetapi sebuah diskusi. Misalnya, Yasmin dan Saman membicarakan seks dengan rasa bersalah ( Saman, hal. 187 – 195 )
  Pengarang sendiri mengatakan masalah seks yang dia sajikan dalam “Saman” masih dalam batas yang wajar. "Karena saya menyajikan seks di situ bukan merupakan teknik persetubuhan, tetapi berupa pemaparan problematika seks untuk direnungkan karena banyak dialami oleh wanita."
  Cerita seks itu pun berbalut dengan masalah cinta, politik, agama yang semakin padu dan selaras. Seperti dikutip :
 Dan kita di New York. Beribu – ribu mil dari Jakarta. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan, barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tak ada yang perlu ditangisi. Bukankah kita saling mencintai? Atau pernah saling mencintai? Apakah Tuhan memerintahkan lelaki dan perempuan untuk mencintai ketika mereka kawin? Rasanya tidak . ( Saman, hal. 30 )

2. Amanat 
Bahwa wanita itu harus memperjuangkan apa yang diinginkannya, apa yang mau dimilikinya, untuk kebebasannya. Seperti dalam kutipan :
Misalnya, cuci – cucian Yesus itu adalah sebuah penjungkiran nilai – nilai, sementara yang dilakukan istri Jawa adalah kepatuhan dan ketidakberdayaan. Tidak sejajar sama sekali. Tapi pekan ini mestinya merupakan hari – hari bahagia miliknya yang tak boleh kuusik. ( Saman, hal. 154 )

Mengingatkan wanita, akan keperawanan yang harus dijaga. Dan sebuah ketidakadilan bagi wanita. Karena kebanyakan laki – laki, menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian. 
Hidup itu cuma satu kali, dan harus kita manfaatkan. Apapun segala keputusan yang kita ambil, harus kita nikmati. Karena hidup itu adalah sesuatu yang menakjubkan.
Paulus menghabiskan hampir seluruh suratnya untuk menjelaskan kasih, yang agaknya sungguh membuat dia bergetar. Namun, kasih – sebetulnya saya lebih senang menambahkan konsep “keterlibatan” – adalah suatu pengalaman yang tidak bisa diringkus dalam kata – kata. Ia tidak tercakup dalam penjelasan apapun. Juga penjelasan saya. Bahkan Paulus hanya berhasil menuturkan ciri – cirinya. Tapi semua itu saya kira hanya bisa kita pakai untuk mengenali cintakasih. Jika kita menggunakannya sebagai pedoman, maka yang terjadi adalah sebuah hukum yang baru yang datang dari luar tubuh manusia, yang tidak dialami melainkan diterapkan. Kesucian, bahkan kesederhanaan yang dipaksakan seringkali malah menghasilkan inkusitor yang menindas dan meninggalkan sejarah hitam. Karena itu saya percaya bahwa Tuhan todak bekerja dengan memberi kita loh batu berisi ide – ide tentang dirinya dan manusia. Tuhan bekerja dengan memberi kita kapasitas untuk mencintai, dan itu menjadi tenaga yang kreatif dari dalam diri kita. ( Saman, hal. 161 )

3. Latar ( setting )
Latar tempat roman Saman adalah Prabumulih dan New York. Prabumulih digambarkan sebagai berikut :
Prabumulih masih kota minyak di tengah Sumatera Selatan yang sunyi masa itu. Cuma ada satu bioskop, sehingga orang – orang biasa membawa anak – anak bertamasya ke rig di luar kota, melihat mesin penimba minyak mengangguk – angguk seperti dinosaurus. Hiburan menegangkan lain adalah lutung atau siamang yang mendadak turun dari pepohonan. ( Saman, hal. 45 )

Dan di New York, digambarkan :
Di taman ini hewan hanya bahagia, seperti saya, seorang turis di New York. Apakah keindahan perlu dinamai?
Saya akan pacaran, seperti burung berbusung bersih di ranting tadi. Saya akan pelukan, ciuman, jalan – jalan, dan minum di Russian Tea Room beberapa blok ke barat daya. Mahal sedikit tidak apa – apa. ( Saman, hal. 2 )

Dan kita di New York. Beribu – ribu mil dari Jakarta. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada dosa. Kecuali pada Tuhan, barangkali. Tapi kita bisa kawin sebentar, lalu bercerai. Tak ada yang perlu ditangisi. Bukankah kita saling mencintai? Atau pernah saling mencintai? Apakah Tuhan memerintahkan lelaki dan perempuan untuk mencintai ketika mereka kawin? Rasanya tidak . ( Saman, hal. 30 )

  Latar waktunya adalah dari tahun 1962 – 1996. Tahun 1962 ketika Saman masih kecil sampai tahun 1996 ketika Laila menunggu kepastian dari orang yang dicintainya, yaitu Sihar.
 Di halaman 44 ditulis :Prabumuli 1962. Dan di halaman pertama ditulis : Central Park, 28 Mei 1996.
  Latar sosial, kehidupan 4 orang wanita yang begitu mempunyai banyak masalah dan mencari – cari siapa musuh bebuyutan mereka. Menurut Yasmin, musuh utama adalah guru. Menurut Sakuntala adalah orang tua. Menurut Laila adalah laki – laki. Menurut Cok adalah Tuhan.
  Mereka mempunyai kebebasan yang mereka tanggung sendiri akibatnya. Kebebasan wanita – wanita, yang mencari jati diri dan kedudukannya dalam dunia. 

4. Sudut Pandang ( Point of View )
Dalam roman “Saman” ini menggunakan kata ganti orang pertama, yaitu “aku” dan saya. Seperti dikutip :
Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu – ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon – pohn, yang tak pernah kita tahu namanya atau umurnya. ( Saman, hal. 1)
Teknik dengan menggunakan sudut pandang “aku” ini, disebut point of view orang pertama. Jadi, seperti orang menceritakan pengalamanya sendiri saja. Dengan teknik ini pembaca diajak ke pusat kejadian, melihat, merasakan melalui mata dan kesadaran orang yang langsung bersangkutan. 

5. Alur ( plot )
Alurnya adalah alur campuran, bisa juga dikatakan dengan alur flas back. Cerita dimulai, 28 Mei 1996 ketika Laila menunggu kehadiran Sihar, laki – laki yang dicintainya. Mereka telah berjanji untuk bertemu dan Laila terus menunggu seperti bulan – bulan lau, menunggu di taman New York. 
Kemudian pada bab selanjutnya, Februari 1993. Menceritakan pertemuan Laila dan Sihar. Laila adalah seorang fotografer yang sedang mengambil gambar – gambar tempat bekerja Sihar pengeboran minyak lepas pantai. Kedekatan mereka semakin erat, ketika sebuah peristiwa terjadi. Teman Sihar, Hasyim mati di dalam lobang pengeboran yang meledak, semua karena perinta Rosano, sang atasan. Sehingga mereka berusaha untuk menjebloskan Rosano. Laila menolong Sihar dengan mengenalkan pada Saman, sahabatnya yang bekerja di LSM. Selama mengenal itulah, mereka ( Laila dan Sihar )juga melakukan hal layaknya suami istri. 
Awalnya mereka kalah, dan Rosano tetap bisa bekerja. Tetapi tiba – tiba mengalami hal yang tak terduga. Rosano dituduh warga Prabumulih memperkosa anak gadis salah satu warga tersebut dan Rosano dianggap bersalah, dan dipenjarakan.
Kemudian bab selanjutnya, cerita kembali ke masa silam, tahun 1983. Ketika Saman masih menggunakan nama aslinya yaitu Athanasius Wisanggeni, ketika itu San alias Athanius menjadi seorang pastor, pengabdi gereja. 
Kemudian berlanjut lagi ke masa silam tahun 1962, Saat Athanius masih kecil. Dia adalah anak tunggal dari seorang Raden Sudoyo, seorang pegawai bank. Menceritakan kehidupannya di Prabumulih bersama ayah dan ibunya. 
Kemudian kembali lagi ke tahun 1984, ketika dia dewasa dan dia sudah lama meninggalkan rumahnya. Athanius ingin kembali lagi ke rumahnya, mengingat masa lalunya. Di sinilah dia bertemu Upi, gadis gila yang mengubah jalan hidupnya. Upi adalah gadis sinting, yang sering memperkosa apapun didekatnya, ayam, bebek, kambing, batang kayu, apapun. Berniat untuk menolong Upi dia tinggal bersama Upi dan keluarganya. Membangun desa Upi yang ditanami karet. 
Pada tahun 1990, terjadi sesuatu pada Upi, Upi diperkosa oleh orang – orang yang ingin desa itu menjadi lahan sawit. Mereka melakukan penjarahan, dan akhirnya Upi mati terbakar di desanya yang dibakar orang – orang kejam itu. Athanius menjadi buronan, karena dianggap komunis. 
Kemudian ditolong oleh sahabat – sahabatnya dulu, yaitu Laila, Cok, Yasmin, dan Shakuntala, untuk pergi ke luar negeri, dan mengubah dirinya menjadi SAMAN.
Kemudian berlanjut lagi ke tahun 1996, menceritakan tentang ke – 4 sahabat yaitu Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin.Bagaimana mereka kahilangan keperawanan, kehidupannya, dan pergaulannya dengan laki – laki. Kemudian berbalik lagi ke tahun 1990, menceritakan Saman yang di pelarian. Dan bab terakhir tahun 1994, menceritakan perubahan Saman, Saman keluar dari kepastoran, menjadi orang biasa, kemudian melakukan hubungan suami istri dengan Yasmin, temannya yang sudah mempunyai suami.

6. Gaya Bahasa
Ayu Utami menceritakan tentang seks, cinta, politik, agama serta perasaan – perasaan yang saling bertaut antar para tokoh tanpa beban, bebas, dengan fakta – fakta yang ada di masyarakat. Diceritakan dengan gamblang. Dan ceritanya jujur. Seperti dikutip :
Jakarta, 23 Mei 1994
Saman,
Kenapa keturunan begitu berarti bagi orang Israel? Aku belum hamil juga. Bolehkah kami membuat bayi tabung?
New York, 28 Mei 1994
Yasmin,
Aku punya dua jawaban, yang nakal dan yang tidak.
Yang nakal : bolehkan aku coba mengahamilimu?
Yang tidak : Gereja Katolik masih melarang bayi tabung. Kenapa kamu tidak mengadopsi anak – anak jalanan saja, yang sudah terlanjur lahir dan menderita. 
( Saman,hal. 189 )

7. Tokoh dan Penokohan
a. Laila
Laila wanita yang begitu percaya akan cinta. Seorang wanita yang mencerminkan wanita – wanita di dunia, yang terlalu memuja lelaki. Yang mengharapkan semua dari lelaki. Terlalu naif. Walaupun akhirnya dia tidak bahagia. Ini dikutip :
Tapi temanku Laila tidak bahagia di New York. Ia memang pantas tidak bahagia. Ia sudah melepaskan beberapa proyek di Jakarta, menguras sebagian tabungannya. Ia bukan orang yang bisa begitu saja membeli tiket seharga dua ribu dolar. Tetapi lelaki yang ditunggunya di Central Park tidak juga memberi isyarat.( Saman, hal. 144 )
b. Sihar
Sihar lelaki yang dicintai Laila. Atletis, tidak putih, berkacamata, kalem, beberapa helai uban telah tumbuh, dan ada odor yang khas – tembakau atau keringat. Sifatnya yang lain dijelaskan pada pikiran tokoh lain :
Buatku, dia terlalu serius, kurang imajinasi, lambat mengolah humor sehingga selalu terlambat tertawa – kadang sama sekali tak paham apa yang kami leluconkan. Berhubungan seks dengannya pasti tidak imajinatif dan tak ada pembicaraan post – orgasme yang menyenangkan. Tapi bukan itu yang membuatku keberatan, meski aku tak tahu apakah aku punya hak untuk keberatan. ( Siman, hal. 132 )

Sihar orang yang bisa bicara dengan kata kasar kepada atasan atau dalam pekerjaan, seperti kepada Rosano. Tetapi dengan perempuan tak ada satu patah omongannya keluar. Tidak juga ada canda yang cabul. ( Saman, hal. 25 )

c. Siman ( Athanasius Wisanggeni ) 
Orang yang pemberani dan banyak ide seperti kata Laila ( Saman, hal. 23 ). Tubuhnya kurus dan hitam. Begitu perhatian dan menyayangi sesama manusia. Seperti dalam kutipan :
Semakin aku terlibat dalam penderitaanmu, semakin aku ingin bersamamu. Dan Wis selalu kembali ke sana. Kian ia mengenal perkebunan itu, kian ia cemas pada nasib si gadis. ( Saman, hal. 79 ).
Siman mengganti namanya karena dia telah menjadi seorang buronan komunis, beralih profesi dari seorang pastor menjadi anggota LSM. 

d. Yasmin
Yasmin seseorang yang pintar dan kaya. Dijuluki the girl who has everthing. Menjadi seorang pengacara, menikah dengan seorang laki – laki bernama Lukman. Sejak kecil, ia dibentuk orang tuanya untuk menghabiskan waktu dengan hal yang produktif. Ibunya memaksanya kursus balet, piano, berenang, dan bahasa Inggris sejak kelas 2 SD, dan ia menjadi serba bisa. Ia tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah. Pengetahuannya yang luas kadang membuat dia menjadi teman bicara yang melelahkan karena ia suka memborong pembicaraan.

e. Cok
Seorang yang periang dan ringan hati. Berada bersamanya, orang akan merasa hidup ini enteng dan tak akan ada yang terlalu perlu direnungkan dengan dalam atau serius. 
f. Sakuntala
Seseorang yang hidupnya penuh kebebasan, sahabat dari Laila, Cok, dan Yasmin. Sakuntala sangat menyayangi Laila. Sakuntala wanita yang baik. Sakuntala dapat mengubah suaranya kadang menjadi laki – laki, kadang menjadi perempuan, seorang penyamar yang hebat.
g. Rosano

Atasan Sihar, seorang yang ramah, manis, tetapi angkuh. Putra seorang pejabat Departemen Pertambangan.


curururut

ANALISIS NOVEL

HARIMAU! HARIMAU!

Judul Buku : Harimau! Harimau!
Penulis : Mochtar Lubis ( Angkatan ’45 )
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan : 06, 2003
Tebal Buku : vi + 214 halaman

Sinopsis Cerita!
Ada tujuh orang pencari damar di hutan raya. Mereka adalah Pak Haji Rakhmad, Wak Katok, Pak Balam, Sutan, Sanib, Talib, dan yang termuda adalah Buyung. Secara tak resmi Wak Katok dijadikan sebagai pemimpin dalam pencarian damar. Hal ini dikarenakan Wak Katok adalah orang yang dihormati, disegani, dan malahan agak ditakuti oleh orang – orang di kampung mereka, karena termashur ahli pencak dan mahir sebagai dukun.
Selama mencari damar mereka tinggal di sebuah rumah kepunyaan Wak Hitam. Wak Hitam adalah guru dari Wak Katok. Dia memiliki 4 istri. Pada saat itu, di rumahnya yang berada di hutan, Wak Katok membawa istri keempatnya yaitu Siti Rabiyah. Seorang wanita yang sangat cantik rupawan. Mereka, ketujuh pencari damar tersebut terpesona melihatnya.
Setelah seminggu di hutan, mereka akhirnya bersiap – siap pulang. Selama perjalanan pulang inilah, mereka diburu oleh seekor harimau yang kelaparan.Pak Balam menjadi anggota rombongan pertama yang diserang si raja hutan. Dalam kondisi sekarat, ia bercerita bahwa harimau itu adalah binatang jadi-jadian kiriman dari Wak Hitam yang hidup di hutan – untuk menghukum mereka karena dosa-dosa yang mereka lakukan. Kecuali mereka mengakui dosa-dosa tersebut dan bertobat.
Cerita mulai mengklimaks. Kepercayaan akan hal-hal yang gaib mengantarkan mereka memasuki area konflik batin. Satu-persatu menjadi korban keganasan harimau. Satu-persatu mulai membuka aib dan dosa diri tak terkecuali membuka aib teman-temannya demi mempertahankan nyawa. Dalam situasi yang mendekatkan diri pada kematian, mereka baru sadar kesalahan dan dosa yang selama ini diperbuat selama hidup mereka. Wak Katok yang mempunyai dosa terbesar yang dirahasiakannya yaitu memperkosa Siti Rubiyah. Talib yang pernah mencuri kerbau. Sanip yang pernah mencuri kerbau, melakukan zina. Sutan yang mencuri kerbau dan memperkosa serta membunuh seorang wanita. Pak Balam yang hanya diam dan menutupi dosa Wak Katok. Pak Haji Rakhmad seorang haji yang tidak percaya akan adanya Tuhan, tak percaya dengan sesama manusia. Dan Buyung yang melakukan zina dengan Siti Rubiyah.
Akhirnya, daripada diburu, rombongan yang tersisa sepakat memburu harimau tersebut. Dan mereka berhasil membunuhnya setelah Wak Katok dukun penipu, dipaksa menjadi umpan. Yang awalnya mereka menyadari, bahwa sebenarnya sebelum membunuh terlebih dahulu harimau yang berada dalam diri setiap anak manusia.

1. Tema
Novel ini mengangkat sebuah tema yang sederhana, yang sering kita temui dimasyarakat umumnya. Orang – orang yang ingin menutupi sifat – sifat jeleknya, yang ingin dianggap sempurna dari semua orang, dengan menggunakan segala cara. Bahkan seorang pemimpin yang hanya bisa berpura – pura dan bisa ngomong doing, menutupi kekurangannya dengan segala cara. Masalah takut yang hakikatnya ada di setiap manusia. Rasa takut itulah yang justru mendorong manusia untuk berbuat keberanian.
Bagaimana Buyung dan teman – temannya, akhirnya menjadi ketakutan menjadi kekuatan. Ketakutannya pada dosanya, akhirnya memberanikan diri untuk memburu harimau, memburu Wak Katok, yang mereka anggap sebagai seseorang yang pemberani. Seperti dikutip :
Mereka bertiga berbisik – bisik mengatur siasat, bagaimana hendak menyerbu dan merampas senapan dari Wak Katok. ( Harimau!Harimau!, hal. 194)
Baru Buyung berpikir, bahwa mereka harus mengambil sikap terhadap Wak Katok. Tak terlintas dalam kepalanya untuk melakukan sesuatu terhadap diri Wak Katok, setelah mereka berhasil merebur senapan. Kini dia sadar, bahwa Wak Katok adalah pembunuh Pak Haji, dan malahan dia telah bersedia untuk membunuh mereka bertiga, dengan mengusir mereka ke dalam hutan yang gelap. ( Harimau!Harimau!, hal. 200 )

Kemudian pemilihan judul yaitu Harimau!Harimau! merupakan metaphor untuk penunjukkan sikap buruk dari diri kita yang sangat berhubungan dengan tema, tentang ketakutan dan menutup sigat – sifat buruk tersebut.

2. Amanat
Banyak amanat yang terdapat dalam novel ini, antara lain :
Jangan pernah menyimpan dendam dalam hati kita, karena akan menyimpan sifat buruk kita saja, biarkan semuanya Tuhan yang membalas dan biarlah hokum dunia yang menyelesaikan. Seperti dalam kutipan :
“Dosa Wak Katok?”kata Buyung, “dengarlah, dosa – dosa Wak Katok hendak membunuh kami, dan telah membunuh Pak Haji kami maafkan, dan biarlah hakim yang mengadili Wak Katok di dunia ini, dan Tuhan nanti di akhirat untuk dosa – dosa itu semuanya. Tetapi Wak Katok telah menipu orang banyak, Wak Katok di dunia ini, dan Tuhan nanti di akhirat untuk dosa – dosa itu semuanya. (Harimau!Harimau!, hal. 206 )

Kemudian juga amanat yang disampaikan dari Pak Haji :
Kita tak hidup sendiri di dunia … manusia sendiri – sendiri tak dapat hidup sempurna, dan tak mungkin hidup sebagai manusia, tak mungkin lengkap manusianya. Manusia yang mau hidup hidup sendiri tak mungkin mengembangkan kemanusiaannya. Manusia perlu manusia lain.

Tuhan itu ada. Tapi jangan paksakan Tuhanmu pada orang lain, seperti juga jangan paksakan kemanusiaanmu pada orang lain, seperti juga jangan paksakan kemanusiaanmu pada orang lain. Manusia perlu manusia lain … manusia harus belajar hidup dengan kesalahan dan kekurangan manusia lain.

…, kemanusiaan hanya dapat dibina dengan cinta bukan dengan benci. Manusia hanya dapat berikhtiar dan berusaha menjadi sempurna …. ( Harimau!Harimau!, hal. 198 – 199 )

Kemudian nasehat akhir dari novel tersebut :
Setiap orang wajib melawan kezaliman di mana pun juga kezaliman itu berada. Salahlah bagi orang memencilkan diri, dan pura – pura menutup mata terhada kezaliman yang menimpa diri orang lain … besar kecil kezaliman, atau ada dan tak adanya kezaliman tidak boleh diukur dengan jauhnya terjadi dari diri seseorang. Manusia di mana juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya. ( Harimau! Harimau!, hal. 211 )

3. Latar ( setting )
Latar bisa dibagi menjadi latar tempat, latar waktu, latar sosial. Latar tempat pada novel Harimau!Harimau! adalah di sebuah hutan di bukit Harimau dekat danau Bantau, Kampung Air Jernih. Yang dijelaskan dalam novel,dikutip :
Karena hal – hal serupa ini barangkali, maka Wak Hitam lebih suka memencilkan dirinya jauh dari kampong, dan lebih suka tinggal di ladangnya di Bukit Harimau, di tengah hutan. (Harimau!Harimau!, hal. 126 )

Mereka bertujuh telah seminggu lamanya tinggal di dalam hutan mengumpulkan damar. (Harimau!Harimau!, hal. 2 )
Latar waktu adalah saat musim damar, ketujuh orang tersebut selama 2 minggu berada di hutan. Dibuktikan dari kutipan :
Mereka telah dua minggu bekerja mengumpulkan dammar berpangkalan di huma Wak Hitam. Lusa pagi mereka akan kembali ke kampung. (Harimau!Harimau!, hal. 42 )

Sedangkan latar sosialnya adlah bagaimana kehidupan masyarakat yang hidup di pinggirran hutan, yang juga bermatapencaharian sebagai pengumpul dammar. Mereka saling tolong menolong walaupun hasil mereka berbeda, tak ada yang saling bersaing, yang penting cukup makan. Kehidupan yang masih diwarnai kebersamaan. Seperti dikutip, di bawah ini :
Di dalam hutan terdapat pula sumber – sumber nafkah hidup manusia, rotan, dan dammar, dan berbagai bahan kayu. Manusia yang dahulu hidup di dalam hutan seperti binatang, dan kemudian meninggalkan hutan untuk membangun kota dan desa, kini pun selalu kembali ke dalam hutan untuk berburu atau mencari nafkah. (Harimau!Harimau!, hal. 2 )
Mereka bertujuh selalu bersama – sama pergi mengumpulkan damar, meskipun mereka sebenarnya tak berkongsi, dan masing – masing menerima hasil penjualan damar yang dikumpulkannya sendiri. Akan tetapi dengan berombingan tujuh orang bersama – sama, mereka merasa lebih aman dan lebih dapat bantu membantu melakukan pekerjaan. (Harimau!Harimau!, hal. 5 )

4. Sudut Pandang ( Point of View )
Di dalam novel ini disebutkan nama, seperti Wak Katok, Buyung, Sanip, Talib, Sutan, Pak Balam, Pak Haji, Wak Hitam, Siti Rubiyah, dsb. Menggunakan kata ganti orang ketiga “mereka”, kata ganti orang kedua “dia” dan dalam penjelasan masih menggunakan nama. Seperti dikutip :
Mereka orang – orang wajar seperti sebagian terbesar orang di kampun. Mereka baik dalam pergaulan, pergi sembahyang ke mesjid, duduk mengobrol di kedai kopi seperti orang lain, mereka ikut bekerja bersama – sama ketika ada orang membangun rumah, memperbaiki jalan – jalan, bandar atau pun menyelenggarakan perhelatan.(Harimau!Harimau!, hal 6 )
Buyung amat senang dengan senapan itu. Dia senang menyandangnya, berganti – ganti dengan Wak Katok.
Wak Katok suka juga meminjamkan senapannya kepada Buyung, karena dia tahu Buyung senang pada senapan, dan selalu menjaga dan membersihkannya baik – baik. (Harimau!Harimau!, hal. 7 – 8 )
Sudut pandang seperti ini, disebut pint of view peninjau atau sudut pandang orang ketiga .

5. Alur ( plot )
Cerita diawali dari penceritaan tokoh – tokohnya. Tujuh orang desa mencari damar ke dalam sebuah hutan tropis lebat. Mereka mewakili karakter yang berbeda-beda. Misalnya ada Buyung, pemuda tekun, baik dan pandai berburu. Lalu ada Pak Haji, seorang sederhana yang dianggap soleh namun asosial. Adapula Wak Katok, orang yang dituakan dalam rombongan, guru silat dan diyakini memiliki ilmu gaib.
Kebiasaan mereka mencari damar di hutan terusik dengan kehadiran seekor harimau kelaparan. Pak Balam menjadi anggota rombongan pertama yang diserang si raja hutan. Dalam kondisi sekarat, ia bercerita bahwa harimau itu adalah binatang jadi-jadian kiriman dari Wak Hitam - mantan gerilyawan yang hidup di hutan - untukmenghukum mereka karena dosa-dosa yang mereka lakukan. Kecuali mereka mengakui dosa-dosa tersebut dan bertobat.
Cerita mulai mengklimaks. Kepercayaan akan hal-hal yang gaib mengantarkan mereka memasuki area konflik batin. Satu-persatu menjadi korban keganasan harimau. Satu-persatu mulai membuka aib dan dosa diri tak terkecuali membuka aib teman-temannya demi mempertahankan nyawa. Dalam situasi yang mendekatkan diri pada kematian, mereka baru sadar kesalahan dan dosa yang selama ini diperbuat selama hidup mereka.
Akhirnya, daripada diburu, rombongan yang tersisa sepakat memburu harimau tersebut. Dan mereka berhasil membunuhnya setelah Wak Katok dipaksa menjadi umpan. Setelah mereka belajar bahwa sebelum mengalahkan harimau di luar sana, mereka harus mengalahkan harimau sekaligus musuh terbesar : diri mereka sendiri.
Dari penjelasan ini, kita dapat mengetahui bahwa alur penceritaannya adalah alur maju, walaupun ada penceritaan masa lalu, tetap ceritanya adalah alur maju, karena hal tersebut mengenang peristiwa.
6. Gaya Bahasa
Dalam bercerita Mochtar Lubis gemar menggunakan lambang – lambang, kiasan, dan perbandingan yang plastis dan tidak jarang bersifat puitis. Yang dibuktikan seperti dalam kutipan :
Banyak bagian hutan raya yang menakutkan, yang menakutkan, yang penuh denganpaya yang mengandung bahaya maut dan hutan – hutan gelap yang basah senantiasa dari abad ke abad. Akan tetapi pula ada bahagian yang indah dan amat menarik hati, tak ubahnya seakan hutan dalam cerita tentang dunia peri dan bidadari, hutan – hutan kecil yang dialasi oleh rumput hijau yang rata, yang seakan selalu dipelihara dan dibersihkan, dikelilingi oleh pohon – pohon cemara yang tinggi dan langsing semampai dan yang menyebarkan wangi minyak cemara ke seluruh hutan. Di tengah hutan yang demikian sebuah anak sungai kecil, dengan airnya yang sejuk dan bersih mengalir, menceracah, menyanyi – nyanyi dan berbisik – bisik, dan akan inginlah orang tinggal di sana selama – lamanya.
( Harimau!Harimau!, hal. 2 )

Kemudian juga :
.
..Ingatlah ucapan Bismillahhirrokhmanirrokhiim ... Tuhan adalah yang Maha Pemurah dan Pengampun. Di sinilah kunci kemanusiaannya manusia yang diturunkan Tuhan kepada manusia. Sedang Tuhan dapat mengampuni segala dosa jika yang berdosa datang padanya dengan kejujuran dan penyesalan yang sungguh. Apalagi kita, manusia yang biasa dan daif ini, di mana kekuasaan kita untuk menjadi hakim yang mutlak, dan menjatuhkan hukuman tanpa ampun kepada sesama manusia? (Harimau!Harimau!, hal. 199 )

Kebanyakan novel Mocthar Lubis tidak bercerita tentang peristiwa demi peristiwa, tetapi tentang manusia dengan segala gejolak batinnya. Di dalamnya dikemukakan percakapan – percakapan batin pelakunya serta nafsu – nafsu dan angan – anagan yang tersembunyi, yang dalam kenyataan lahiriah tidak terungkapakna. Oleh karena itu kebanyakan karya Mochtar ada unsur monoluque interieur dan ada pengaruh ilmu jiwa. Seperti dalam novel Harimau!Harimau!, bagaimana tokoh berdialog dengan hati nuraninya masalah dosa. Seperti dikutip di bawah ini :
“Apa lagi dosa – dosaku ...” Sanip tertegun, dalam hatinya teringat pada rahasianya, ketika dia berumur sembilan belas tahun, pergi ke kota, dan berkunjung ke rumah perempuan lacur. Akan diceritakah ini? Ini terang dosa juga amat dilarang oleh Tuhan. Akan diceritakankah? (Harimau!Harimau!, hal. 130 )

7. Tokoh dan Penokohan
Tokoh – tokohnya adalah Wak Katok, Pak Haji Rakhmad, Buyung, Sanip, Sutan, Talib, Pak Balam, Siti Rubiyah, Wak Hitam. Berikut akan dijelaskan sifat – sifat tokoh tersebut, satu persatu.
a. Pak Haji Rakhmad
Pak Haji Rakhmad berumur 60 tahun. Meskipun umurnya telah lanjut, tetapi badannya masih tetap sehat dan kuat, mata dan pendengarannya masih terang. Mendaki dan menuruni gunung membawa beban damar atau rotan yang berat, menghirup udara segar di alam terbuka yang luas, menyebabkan orang tinggal sehat dan kuat. Pak haji selalu membanggakan diri, bahwa dia tak pernah sakit seumur hidupnya. Dia bangga benar tak pernah merasa sakit pinggang atau sakit kepala.
Pak haji yang dianggap sederhana dan alim ternyata asosial . Seseorang yang tidak mempercayai orang lain. Tidak peduli bagaimana orang lain bahkan tidak percaya adanya Tuhan. Ini semua karena trauma masa lalunya, ketika anaknya meninggal karena sakit dan tak satupun orang yang menolong, dan Tuhan tidak mengabulkan permintaanya agar anaknya sembuh.( Harimau!Harimau!, hal 174 – 175 ).
Tetapi akhirnya Pak Haji sadar, bahwa di dunia ini kita harus saling tolong menolong. Harus saling memaafkan, dan saling mencintai sesama manusia.
b. Wak Katok
Wak Katok berumur lima puluh tahun. Perawakannya kukuh dan keras, rambutnya masih hitam, kumisnya panjang dan lebat, otot – otot tangan dan kakinya bergumpalan. Tampangnya masih serupa orang yang baru berumur empat puluhan saja. Bibirnya penuh dan tebal, matanya bersinar tajam. Dia juga ahli pencak dan dianggap dukun besar di kampung. Dia terkenal juga sebagai pemburu yang mahir.
Wak Katok adalah seorang yang angkuh dan sombong. Yang tidak lebih hanya seorang yang penakut dan pengecut. Semua orang mengatakan dia ahli silat, pemberani, tetapi dalam hatinya dia selalu merasa takut, sejak dulu, sejak dia masih muda. Apa yang dilakukannya, berguru ke dukun hebat, untuk menyimpan ketakutannya. Wak Katok selalu berusaha untuk menjadi pemburu yang mahir. Akan tetapi dia selalu takut. Dia tak dapat meninggalkan rasa takutnya. Dia tak bisa menyimpan rasa takutnya. Karena itu dia selalu melakukan hal – hal yang berlebihan untuk menutupi kekurangannya. Jika ada pemberontakan dia selalu berlindung di belakang kawan – kawannya. Dan jika keadaan telah dikuasai, maka dialah yang mulai membunuh, merampok, atau memperkosa. Jadi dialah yang dianggap paling berani. (Harimau!Harimau!, hal. 148 – 150 )
c. Pak Balam
Pak Balam sebaya dengan Wak Katok. Orangnya pendiam, badannya kurus, akan tetapi kuat bekerja. Pak Balam dihormati orang di kampung, yang menganggapnya sebagai seorang pahlawan, yang telah berani ikut mengangkat senjata Belanda. Ternyata dibalik diamnya ini, Pak Balam menyimpan rahasia besar, rahasia tentang Wak Katok, yang akhirnya dengan berani dia ceritakan. Bagaimana Wak Katok membunuh teman seperjuangan mereka, membunuh wanita dan anak – anak yang tidak bersalah.

d. Buyung
Pemuda tekun, baik, dan pandai berburu, berumur 19 tahun. Ini bisa dilihat pada percakapan Buyung dan Pak Haji, dan pikiran Pak haji, yang dikutip sebagai berikut :
“Tentu aku bersedia menolong Pak Haji, siapa saja yang dalam bahaya, katanya dengan sederhana. “Dan tak ada bahayanya bagiku,” tambahnya kemudian.
Pak Haji membiarkan Buyung berjalan dahulu dan dia berpikir. Aneh, aneh pikirnya, ada juga orang yang serupa itu, yang bersedia menolong orang lain, tanpa memikirkan bahaya untuk dirinya sendiri. Dan tak pula mengharapkan balas jasa. (Harimau!Harimau!, hal. 180 )
Tetapi mempunyai sifat yang ingin cepat terburu – buru untuk menetapkan sikap. Ini dibuktikan bagaimana Buyung, ingin cepat mendapat cinta Zaitu dengan ilmu pelet.
Dia terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati gadis. Dia telah jatuh cinta benar pada Zaitun, anak Wak Hamdani. (Harimau!Harimau!, hal. 10 )
e. Sanip
Sanip berumur 25 tahun, telah beristri dan punya empat anak. Sanip orangnya periang, tidak pernah memikirkan masalah dengan terlalu serius, tetapi dibawa dengan pikiran yang tenang. Sanip bertubuh pendek dan gemuk. Sifat ini dibuktikan dalam kutipan :
Buyung juga merasa cemburu pada Sanip. Cemburu pada keriangannya, dan kemahirannya memainkan dangung – dangung. Dia ingin dapat semudah Sanip menyanyi dan menari dan bercerita. Buyung juga cemburu melihat Sanip yang dengan mudah menganggap segala apa yang terjadi seperti soal yang ringan. Kalau turun hujan yang lebat, hingga jalan menjadi licin dan badan mereka basah kuyup, maka Sanip dengan gembira akan berseru “... jangan susah hati, habis hujan datanglah terang!” (Harimau!Harimau!, hal. 17 )

Tetapi dibalik sifat baiknya, dia juga mempunyai sifat yang buruk. Yang dikutip sebagai berikut :
Ketika dia masih kecil, sering benar dia mencuri durian, mangga, duku. Dan waktu dia kecil, dia disuruh mengaji, sedang dia pergi bermain bola, hingga dia menendang Qur’an di tengah jalan ke mesjid tempatnya mengaji. Dia melawan pada ibunya. Hawa nafsu yang timbul dalam dirinya tiap kali dia melihat perempuan cantik. (Harimau!Harimau!, hal. 130 )

f. Talib
Talib berumur 27 tahun, telah mempunyai istri dan 3 orang anak. Talib seorang pendiam kurus dan jangkung dan orang yang berlainan dengan Sanip. Selalu memikirkan masalah dari segi buruknya saja. Tetapi dia bersahabat erat dengan Sanip. Sifat Talib diperkuat :
Talib akan berkata :
“Aduh, hujan begini akan berhari – hari lamanya!”
Dan Sanip dengan suara gembira akan mengatakan :
“Untung hujan, kita sempat beristirahat.”( Harimau!Harimau!, hal. 19 )
Talib ternyata mempunyai kerja sampingan, yaitu mencuri kerbau.
g. Sutan
Sutan berumur 22 tahun dan telah berkeluarga. Sutan adalah seorang penyamun dan mempunyai istri banyak. Seseorang yang akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, seperti ketika dia memperkosa Siti Nurbaiti, untuk memuaskan nafsu bejatnya, bahkan dia tega membunuh gadis kecil itu. Di novel Harimau!Harimau! halaman 140 – 142)

h. Wak Hitam
Wak Hitam adalah seorang yang tua umurnya hampir tujuh puluh tahun. Orangnya kurus, kulitnya amat hitam. Dia selalu memakai baju serba hitam. Mempunyai istri empat, seorang dukun yang terkenal hebat.Wajahnya menunjukkan kegarangan dan menakutkan. Ada sesuatu dalam dirinya yang menimbulkan rasa segan orang terhadap dirinya.

i. Siti Rubiyah
Siti adalah istri keempat dari Wak Hitam. Seseorang yang patuh kepada orang tuanya, karena manuruti kehendak orang tuanya untuk menikah dengan Wak Hitam. Sebenarnya adalah wanita yang periang, tetapi menikah dengan Wak Hitam, membuat semuanya berubah. Siti lebih pendiam.


Kamis, 30 April 2009


ANALISIS ATHEIS

ATHEIS

Judul Buku : Atheis
Penulis : Achdiat K. Mihardja ( Angkatan ’45 )
Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta.
Cetakan : 27, 2005
Tebal Buku : 232 halaman

 
Sinopsis Cerita
 Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampong di kota Bandung, Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sudah sedari kecil hidupnya ditempuh dengan tasbih. Iman Islamnya sangat tebal. Lukisan inilah yang menggambarkan latar keagamaan dalam kehidupan Hasan, kehidupan yang bernaung Islam.
 Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama semua tentang ajaran – ajaran agamanya makin menempel terus di dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.
 Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja. Di tempat penjualan tiket inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya mengubah jalan hidupnya. Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya pada saat bersekolah di Sekolah Rakyat. Rusli mengajak untuk bertamu ke rumahnya dan terlebih lagi ada perasaan tertentu yang menghinggapinya kala bertemu dengan Kartini, yang merupakan saudara angkat Rusli. Hasan jadi sering mampir ke tempat Rusli.Dan mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.
 Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah menyangkut sisi relijiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya. Semakin sering ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli dan kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan mereka, mulai semakin tak perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis akan sangat menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak berlangsung mudah. Pada awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukkan dengan tekadnya suatu kali untuk menyadarkan Rusli guna kembali ke jalan yang benar. Dengan semangat ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat.Hasan menyerah, ia terus menggabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus tambah terpengaruh. Sewaktu suatu saat kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan, kebetulan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia bahkan berani berteus terang pada kedua orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya. Dan tentu saja untuk itu Hasan harus membayar dengan perpisahan untuk selamanya.
Namun ketika menceburan Hasan ke dalam lingkungan Marxis, ia sebetulnya juga tak sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideologi tersebut. Keberadaan seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus ada di komunitas yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai saling lempar wacana yang ada. Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu, tak lama pula, datanglah juga masa sengsara, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar. Dan pertengkaran inipun berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya, ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah. Dalam keterlibatan ia berkecimpung di dunia pemikiran kaum “atheis”, ia masih sangat mendekap erat pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan, yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadap dengan penderitaan fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.
Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa Kartini, dalam marah, ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara Jepang ( Kusyu Heiho ) yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru dan diakhir hayatnya ini Hasan masih sempat mengucapkan Allahu Akbar sebagai tanda keimanannya.


Unsur Intrinsik!
1. Tema
Tema yang diangkat novel ini adalah persoalan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Novel Atheis ( 1949 ) karya Achdiat K. Mihardja adalah karya sastra yang mengetengahkan perkembangan awal abad ke – 20, yakni pergeseran gaya hidup tradisional ke gaya hidup yang modern. Atheis menyoroti kebiasaan umum dalam menanamkan ajaran Islam secara dogmatis. Atheis mengambil tema benturan Islamisme yang ditanamkan secara dogmatis melawan komunisme. Sifat keberagamaan dalam novel ini terasa begitu kental hampir di setiap bagiannya. Seperti dalam kutipan :
Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh karena hidup di dunia ini berarti menyelenggarakan segala perhubungan lahir batin, antara kita sebagai manusia dengan sesama makhluk kita dengan alam beserta pencintanya. Dan penyelenggaraan semua perhubungan itu meminta cara. Cara yang sebaik – baiknya, seadil – adilnya, seindah – indahnya, setepat – tepatnya, tapi pun sepraktis – praktisnya, dan semanfaat – manfaatnya bagi kehidupan segenapnya. ( Atheis, hal. 9 )
Hal ini menggambarkan tentang kehidupan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya. 
2. Amanat
Banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan dari novel Atheis ini. Dalam novel ini kita seakan – akan diingatkan, tentang kehidupan orang yang begitu fanatik dalam menjalankan agamanya, orang – orang yang hanya memikirkan urusan akhirat saja. Padahal Tuhan menyuruh manusia beribadah dengan tidak melupakan kewajibannya sebagaimana manusia di dunia. Ketaatan Hasan bersembahyang, melakukan ibadah semata – mata karena ketakutannya pada neraka yang selalu dipikirkannya, bukan ketakutan akan Tuhannya. Seperti ditulis dalam halaman 20 :
Dalam khayalku sebagai anak kecil, segala dongeng itu alangkah hidupnya, seolah – olah aku sudah betul – betul melihat neraka.
Aku merasa takut. Menggigil ketakutan. Merapatkan badanku kepada badan Ibu yang sedang mendongeng itu. Ibu memeluk aku. Dibujuk – bujuknya aku,”Tidak usah engkau takut – takut, asal engkau jangan nakal. Mesti selalu turut kepada perintah ayah dan ibu, kepada orang – orang tua, dan mesti rajin bersembahyang dan mengaji.
  Achdiat seolah ada di samping kita bercerita tentang pemeluk agama yang keliru mengkuti tradisi semata. Membuat kita sadar bagaimana menjalankan agama yang sesungguhnya.
  Kemudian kita juga diberitahukan jangan tergantung pada cinta yang didasari nafsu duniawi. Cinta mengubah Hasan menjadi lupa diri. Karena cintanya kepada Kartini, ia telah menyingkirkan cintanya terhadap Tuhannya dan orang tuanya. Seperti dalam kutipan di bawah ini, bagaimana kuatnya pengaruh Kartinin terhadap kehidupan Hasan :
 “Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding dulu. Dulu artinya empat bulan yang lalu segala jejak dan ucapanku selalu kusesuaikan dengan “pendapat umum”, terutama dengan pendapat para ahli ulama. Aku selalu berhati – hati jangan sampai menjadi noda dalam pendangan umum, alias “klaim alim – ulama” itu. Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting pendapat Kartini. ( Atheis, hal. 108 )
  
Sebenarnya cinta itu bukan berarti rasa sayang terhadap lawan jenis saja, tetapi untuk Tuhan kita. Cinta itu harus dibarengi dengan akal, pikiran, dan keimanan yang kokoh agar cinta tidak memberi kesesatan dalam hidup kita.

3. Latar
Latar ( setting ) adalah waktu, tempat, atau lingkungan terjadinya peristiwa. Tempat penceritaan novel adalah di Jawa Barat dan khususnya di Kota Bandung . Hal ini bisa dilihat dari kutipan isi novel, yaitu :
Di lereng gunung Telaga Bodas di tengah – tengah pegunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau pohon – pohon jeruk Garut. ( Atheis, hal. 16 )

Dapat kita ketahui jeruk Garut berasal dari Jawa Barat karena Garut adalah nama salah satu kota di sana, dan pegunungan Priangan terdapat di kota Bandung. Pernyataan itu dipertegas lagi dalam kalimat berikut :
Aku tunduk saja. Mengerti aku, bahwa orang tuaku itu takut kalau – kalau aku akan menjadi buaya atau akan tersesat ke jalan pelacuran. Maklumlah kota Bandung. ( Atheis, hal. 26 )

Stasiun Bandung sudah samara – samara diselimuti oleh senja, ketika kereta api dari Cibatu masuk. Matahari sedang mengundurkan diri, pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk menghilang ke dalam gelap.
Kota Bandung tidak seperti tiga tahun yang lalu. Pada senja hari yang indah seperti itu, di zaman yang lalu kota itu seolah – seolah mulai berdandan. Lampu – lampu listrik di jalan – jalan, di toko – toko dan di rumah – rumah mulai dipasang, seakan – akan manusia bersedia – sedia untuk mulai berjuang membantu Ormurd, dewa terang, dalam perjuangannya yang abadi melawan Ahtiman, dewa gelap. ( Atheis, hal.224 )

Latar waktu cerita ini terjadi dari tahun 1940 – an ketika Belanda dan Jepang mulai memperebutkan Indonesia sebagai tanah jajahannya. Sampai massa menjelang proklamasi kemerdekaan ketika perang dunia II mulai. Hal ini dibuktikan dari tanggal pernikahan Hasan dan Kartini yaitu tanggal 12 Februari 1941. dan dijelaskan dalam novel pada halaman 171 bahwa pemerintah Hindia – Belanda tekuk lutut kepada kekuasaan balatentara Dai Nippon dengan tidak memakai syarat apa – apa. Selain itu, akhir hayat Hasan, dia dibunuh oleh Kusyu Heiho ( yaitu tentara Jepang ) karena dianggap mata – mata. 
Latar sosial ( lingkungan ) dapat kita bedakan. Saat usia anak – anak dan remaja Hasan tinggal bersama orang tuanya yang pengaruh agamanya sangat kental. Bandung juga mampunyai latar budaya yang unik, karena hampir semua penduduknya adalah penganut agama yang taat. Dapat dilihat dalam kutipan :
Ayah dan ibuku tergolong orang yang sangat saleh alim. Sudah sedari kecil jalan hidupnya ditempuhya dengan tasbeh dan mukena. Iman Islamnya sangat tebal.(Atheis,hal. 16 – 17 )

Lukisan ini memberikan gambaran latar belakang keagaaman yang melatarbelakangi kehidupan tokoh Hasan sebagai bagian kehidupan suatu keluarga yang beragama Islam. 
Sedangkan pada saat dia tinggal di Bandung, dia memasuki latar sosial yang berbeda. Orang – orang yang tidak peduli pada Tuhan, orang – oran yang bebas ( kapitalis ) menjadi teman dalam pergaulannya. Orang yang seperti Anwar yang menganggap “Ik ben een god in het diepst van migh gedach ten” ( dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan), di halaman 104. dan pernyataan di bawah ini yang memperkuat latar sosial tersebut :
“Juga dalam hal musik dan seni umumnya Rusli ternyata mempunyai pengetahuan dan pemandangan yang luas. Apa yang kuanggap sebagai buah “kebudayaan kapir”; oleh Rusli disebut buah “kebudayaan burjuis”, yang katanya dengan sendirinya akan hilang apabila masyarakat kapitalis sekarang sudah berganti menjadi masyarakat sosialis. Sebab, katanya pula, seperti cabang – cabang kebudayaan lainnya seni dan musik pun adalah hasil masyarakat. Masyarakatnya kapitalis, kebudayaan pun kapitalisme. Demikian selanjutnya,… ( Atheis, hal. 93 )

4. Sudut Pandang ( Point Of View )
Dalam novel ini pengarang menempatkan sudut pandangnya sebagai tukang cerita, di mana di beberapa bab dalam novel ( pada bab I, II, dan bab XIII ), pengarang pun ikut masuk di dalam cerita tersebut. Dari awal sampai akhir pengarang tetap konsekuen dengan sudut pandangnya. Pengarang tidak menggubris/ menguak tentang dirinya, tetapi menceritakan tokoh utama/ sentral dari cerita tersebut. Yang diperkuat dengan kutipan :
Pendek kata, saya akan berusaha supaya sedapat mungkin saya bisa memberi lukisan yang tidak begitu banyak menyimpang dari kejadian – kejadian yang sebenarnya tentang pengalaman – pengalaman Hasan itu, supaya karangannya betul – betul merupakan karangan yang bersifat “Dichtung und Wahreit”.( Atheis, hal. 197 )
Selain itu dalam novel banyak menggunakan kata “aku”. Hal ini terjadi karena dalam menuturkan kisahnya ini pengarang menduduki posisi tempat tersendiri di dalam cerita. Kadang – kadang pengarang melibatkan diri di dalam cerita dan pada cerita yang lain, ia berada di luar cerita sebagai pengamat. Jadi novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal.

5. Alur ( plot )
Alur novel ini disajikan secara sorot balik ( flash back ), sebuah gebrakan baru era tahun ’45.
 Teeuw melukiskan alur cerita novel Atheis sebagai berikut :
[ C { B ( A ) B } C ] 
  Bagian A merupakan bagian dari novel yang berisi riwayat pelaku utama ( tokoh utama ), yaitu Hasan. Bagian ini bermula dari bab III sampai bab XII, yaitu dikisahkan dalam bentuk “aku”, yaitu Hasan.
  Bagian B, baik sebelum maupun sesudah A merupakan kisah pertemuan dan perbincangan pengarang dengan Hasan. Bagian ini diceritakan juga dalam bentuk “aku”, tetapi “aku” adalah pengarang bukan Hasan. Bagian – bagian ini hanya sedikit, B yang pertama meliputi bab II, sedangkan B yang kedua meliputi bab XII. Bab XII ini merupakan pertemuan pengarang dengan Kartini, ketika Hasan menghilang. Sedangkan bagian C kedua – duanya merupakan cerita pengarang tentang Hasan yang diperolehnya dari teman – teman dekat Hasan. Bagian C pertama terdiri atas bab I, yang hakikatnya merupakan kelanjutan bagian C kedua yang terdiri atas bab XIV dan XV. Maksudnya adalah bagian C terakhir ( bab XIV dan XV ) merupakan bagian ketika Hasan meninggalkan rumah dan mencari Anwar dengan penyakitnya yang tak kunjung sembuh, kemudian Hasan ditembak mati oleh tentara Jepang dan di bagian C pertama adalah Kartini, Rusli, dan pengarang mendapatkan kabar kematian Hasan. Ceritanya dibalik menjadi alur sorot balik.

6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah pencerminan kepribadian pengarang. Dalam novel Atheis, Achdiat banyak menggunakan majas personifikasi seperti :
Matahari sedang mengundurkan diri pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk hilang dalam gelap. ( Atheis, hal. 6 )

Kemudian pada hal 123 :
Kalau dulu aku hidup di dalam ketenangan hati seperti air di danau, maka air itu seakan – akan sudah mendesah – desah penuh dinamik seperti air di sungai gunung. 

Kemudian pengarang juga menggunakan bahasa Belanda untuk kalimat yang ingin dipertegasnya, seperti :
In de nood leerf men bidden ( Kesusahan hidup mendorong kita sembahyang ). ( Atheis, hal. 20 )
Ik ben een god in het diepst van mijn gedach ten ( dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan ). ( Atheis, hal .104 )
Soal percabulan, Dat is het echte leven ( itulah hidup yang sebenar – benarnya ). ( Atheis, hal. 226 )
7. Tokoh dan Penokohan
Tokoh Utama ( Protagonis ) adalah Hasan, karena novel ini banyak menceritakan tentang kehidupan Hasan, bagaimana Hasan dari seorang yang taat beragama menjadi seorang Atheis karena orang – orang disekitarnya, dan Hasan adalah tokoh yang berhubungan dengan seluruh tokoh lain, seperti pengarang, Kartini, Rusli, Anwar, orang tua Hasan, Rukmini. Adapun sifat – sifat Hasan adalah :
Seperti namanya pula, rupa, dan tampang Hasan pun bisa sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurus itulah maka nampaknya seperti orang yang tinggi, mata, dan pipinya cekung portrayal of throught steam. ( Atheis, hal. 13 )
Menunjukkan bagaimana seorang Hasan yang sederhana dan tubuhnya kurus. Hasan juga seorang yang kurang teguh pendirian, seperti dikutip di bawah ini:
 Dia seorang pencari. Dan sebagai seorang pencari, maka ia selalu terombang – ambing dalam kebimbangan dan kesangsian. Kesan ia bukan seorang pencari yang baik. ( Atheis, hal. 13 )
 
Hasan juga seorang yang fanatik dengan agamanya, yang dibuktikan dalam kutipan :
 Kadang – kadang aku tidak bisa menyembunyikan kebencian kepada orang yang tidak saleh atau kurang iman.
 … berpuasa tujuh hari tujuh malam. Hasan kemudian menyelesaikan ritualnya mandi di kali Cikapundang selama 40 kali, satu malam dan sembahyang Isya sampai shubuh. ( Atheis, hal. 28 – 29 )

Kemudian tokoh lawannya adalah Kartini, Rusli, Anwar, yang sifatnya akan dijelaskan satu persatu.
a. Kartini
Kartini adalah wanita korban Siti Nurbaya dipaksa kawin oleh ibunya dengan seorang rentenir Arab tua yang kaya. Suka belajar dan menempuh hidup kebarat – batan daripada “penjara timur kolot” menurutnya ( dalam Atheis, hal. 34 ). Kartini seorang yang berideologi tegas dan radikal. Etikanya menurut feodal/ burjuis, merupakan wanita yang berpikiran modern. Kartini adalah seorang Athei ( tidak percaya akan keberadaan Tuhan dan agama )
b. Rusli
Rusli adalah teman kecil dari Hasan. Dari kecil Rusli adalah anak yang nakal, jarang sembahyang ( Atheis, hal. 33 ). Rusli juga seseorang yang dapat menghargai orang lain dan sopan, ditunjukkan dalam kutipan berikut :
Tentu saja saudara Hasan tidak akan membiarkan pendapat saya itu. Itu saya dapat mengerti dan hargai, dan memang tak asah saudara Hasan menerima segala apa yang saya katakan itu. ( Atheis, hal. 77 )

Rusli juga seseorang yang mudah mempengaruhi orang lain. Seperti dalam kutipan :
Karena kepandaian Rusli menguraikan pelbagai soal hidup, baik soal – soal kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan lain – lain yang selama itu tidak pernah menjadi soal bagiku dan agama. ( Atheis, hal. 104 ) 

Rusli juga seorang Atheis ( tidak percaya akan adanya Tuhan dan agama ).
c. Anwar
Anwar adalah rekan dari Rusli dan Kartini. Anwar adalah seniman anarkhis dan ramah. Seperti dikutip, bagaimana fisik dari Anwar :
Ia pemuda yang cakap rupanya. Kulitnya kuning seperti kulit orang Cina dan matanya pun agak sipit. Mungkin ia keturunan Cina/ Jepang. Ia berkumis kecil seperti sepot sapu lidi masuk ter dan janggutnya jarang – jarang seperti akar yang liar. Rambutnya belum bercukur. ( Atheis, hal. 101 )

Dan juga disebutkan bahwa Anwar adalah seorang yang periang dan selalu beranggapan bahwa Tuhan itu adalah aku sendiri ( telunjuknya sendiri menusuk dadanya ) dalam Atheis, hal. 104.
Anwar adalah inididualis anarkhis dan suka memaksakan kehendaknya. Dibuktikan pada kutipan di bawah ini :
Ia suka sekali mendesak – desakkan kehendak atau pendapatnya sendiri. Dalam hal ia selalu agresif. Selalu polemis dan mengemukakan dirinya sendiri, seolah – olah dialah saja yang paling pintar, paling benar dan tak diinsyafinya agaknya, bahwa kebenaran itu terlalu besar untuk dimonopoli oleh hanya 1 orang saja, seorang Anwar. ( Atheis, hal 130 )

Ada juga tokoh bawahan seperti Rukmini merupakan wanita penganut agama Islam yang taat, anak seorang raden. Tidak kaku dalam pergaulan, selalu riang dan ramah. Suka sekali bercakap –cakap dan pandai berdandan. Cita – citanya dalah mengabdi dan memajukan Islam.